Sesuatu yang hilang akan begitu terlihat berharga, akan begitu terlihat penting dan akan begitu terlihat dibutuhkan. Karna sesuatu itu disadari tak akan pernah kembali.. takkan pernah bisa lagi dirasakan, takkan pernah lagi bisa disentuh, hingga mengenangnya pun begitu terasa menyakitkan..
Inikah yang disebut dengan rindu?
Ternyata, rindu itu menyakitkan. Ya, begitu menyakitkan.
Ketika seseorang anak perempuan kecil kehilangan ayahnya, tersesat di ramainya suasana Kemudian terjatuh di tengah teriknya matahari siang itu. Dia bingung, ayahnya pergi dengan pamit, namun dia sama sekali tak mengerti, "mengapa harus secepat ini" pikirnya. Suasana hatinya kacau balau. Tak lagi dia pikirkan apa yang disekelilingnya saat itu. Kenyataan yang dia ingat hanya tentang ayahnya yang pergi meninggalkannya. Rasa sakit menjalar menggerogoti dinding hati yang membuatnya kuat selama ini. Air matanya jatuh tanpa proteksi.
Bahkan dia pun tak tau apa yang mesti dia lakukan, sekuat tenaga dia mencoba berpikir, tak akan ada satupun cara untuk membuat ayah tercintanya kembali di sampingnya.
Dia berjalan dan kemudian berlari, dia tak lagi peduli jika suatu saat dia akan terjatuh lebih dalam lagi. Bahkan pada saat itu, hal itulah yang dia inginkan. Dia ingin ikut menghilang bersama ayahnya, ayah tercintanya.
Namun suatu saat, ketika dia hendak menyebrangi sungai kecil yang dia lewati, dia bertemu dengan dua orang anak yang berumur dua atau tiga tahun dibawah umurnya. kedua anak itu menangis, meraung memanggil ibunya. Suara mereka gemetar, sengukannya menandakan mereka telah lama menangis seperti itu. Dia menatap kedua anak tersebut, dan bertanyalah dia kemudian. "Hei, kemana ibumu?" kedua anak tersebut menjawab satu persatu "Ibuku hilang" jawab anak pertama. "Ibuku pergi" jawab anak ke dua. Dia berpaling ke arah sungai, ada dua buah ember cucian dipinggiran, terbalik. Pakaian kotor di dalamnya berhamburan keluar, dan sebagiannya menjuntai-juntai dibawa air sungai dengan arus deras sekali. Dia menyadari, Ibu kedua anak itu takkan lagi kembali. Seperti ayahnya yang hilang, seperti ayahnya yang pergi. Dia diam dalam tanyanya. Kemudian dia pergi, pikirannya tambah kacau. Andai dia dapat menangis seluwes mereka pikirnya. Dia mempercepat langkahnya, air matanya belum juga berhenti mengalir. Matanya sembab bukan lagi. Tetapi, dia diam seketika mendapati kedua anak tersebut mengikutinya. Dia sama sekali tak ingin terlihat lemah. Kedua anak tersebut menatapnya lirih. Air mata mereka belum juga kering.
Dia berkata sedikit berteriak "Apa yang kalian lakukan? jangan mengikutiku!"
Salah satu dari mereka menjawab "Kami butuh ibu kami. Kami tak tau hendak kemana.."
"Aku tak bisa menuntun kalian, pergilah" Jawabnya. Kedua anak itu membisu. Air mata mereka kembali mengalir.
Dia mengerti, bahkan sangat mengerti apa yang mereka rasakan. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia merasa sama-sama lemah. Sama-sama rapuh. Sama-sama tak tahu arah. Dia bisa apa? Untuk menuju kemana pun dia tak tau. Dia menghela nafasnya dan berkata lagi "Ibu kalian takkan kembali, takkan pernah kembali. Kalian harus tau, tak ada satupun hal yang dapat kita pertahankan di dunia ini. Karna semuanya bukan milik kita. Kalian harus sadar, bahwa suatu saat kehilangan itu adalah salah satu hal yang harus kalian hadapi. Ingat, berjalanlah dengan kakimu, tentukan arah dengan hatimu, dan yakinkan dirimu bahwa bisa berjalan, berlari dan menghadapi dunia ini. Ibu kalian akan tetap bersama kalian, menuntun kalian hingga ujung jalan, ingatlah ia di hatimu! Dan sekarang pergilah tanpa aku.." Begitu sulit batinnya mengatakan kalimat-kalimat tersebut. Begitu naif nya menjadi dia yang mengatakan hal yang seharusnya dia pahami sendiri. Namun usahanya berhasil, kedua anak tersebut tersenyum, kemudian berkata seraya berbalik "Terimakasih, kami percaya ibu kami masih disini" mereka berjalan semakin menjauh.
Dia berhasil membuat mereka tersenyum. Dia berhasil membuat mereka berdiri sendiri. Dia berhasil membuat mereka berani menghadapi kenyataan. Tetapi untuk dirinya sendiri, dia gagal.
Dia melanjutkan perjalanannya..
Sudah begitu sering dia terjatuh, sudah banyak pula yang dia temui. Dia lelah, sangat lelah. Kemudian dia melihat sebuah rumah pohon yang tak berpenghuni, dia menaiki pohon tersebut dan tidur pulas di dalam rumah itu. Dia merasakan bebannya berkurang dan menghilang. Dinikmatinya waktunya. Berbaring di dinginnya kayu yang menyusun rapi tempat tidurnya. Dia merasa dilindungi. Tak lama kemudian dia bangun, dia merasa hangat, ada selimut menutupi tubuhnya. Tersedia pula sup dan susu coklat hangat disamping tempat dimana dia tidur.
"Siapa yang menyiapkan semua ini untukku?" tanyanya dalam hati. Dia melihat sekelilingnya, dia mendengar ada suara kayu yg sedang dihantam benda tajam sepertinya. Suara ini mengingatkannya pada ayahnya. Suara itu yang selalu ada di setiap paginya ketika ayahnya masih ada. Ayah yang selalu bekerja keras untuk menghidupinya. Ayah yang tak kenal lelah memberikan senyum semangatnya ketika dia bangun dari tidurnya.
Rasa penasarannya memuncak, dia bingung. Dia keluar dari rumah, dan mendapati seorang wanita yang sedang memotong-motong kayu menjadi beberapa bagian. Wanita itu tampak lelah, sesekali dia mengusap keringat di dahinya, tidak dapat tertutupi ketulusan darinya. Dia tetap tersenyum. Manis, manis sekali walaupun wajahnya terlihat lebih tua dari umurnya.
Dia mendekati wanita tersebut, hingga jarak keduanya tidak lebih dari dua meter. Air matanya turun lagi.
"Ibu..." Panggilnya.
Selama ini dia buta akan permasalahan yang dia hadapi, yang dia lihat hanya sisi negatif dan pikirannya terfokus pada hal yang terjadi pada saat itu saja. Pada saat ayahnya meninggal dunia. Dia tidak melihat sisi lain dari permasalahan itu, dia terbelenggu oleh perasaannya sendiri. Dia menyadari bahwa dia sudah terjatuh terlalu lama, dia lupa akan sosok indah lain yang selalu ada bersamanya. Ibunya, ibu tercintanya yang selalu hadir ketika dia membutuhkan. Selalu bersedia menjadi tempat berpegangan dan Ibunya yang selalu kuat menghadapi cobaan yang mereka hadapi. Dia sadar bahwa dia masih memiliki seorang ibu yang harus dia jaga sebaik-baiknya, yang harus dia sayangi dan hormati sebagaimana perannya yang amat sangat penting dalam hidupnya. Bahkan saat ini, beban ibunya semakin berat, memikul dua kewajiban sebagai orangtua. Sebagai seorang Ibu yang berperan sebagai penghangat keluarga, pengasuh terhormat bagi anaknya, sekaligus menjadi seorang ayah yang berkewajiban mencari nafkah, melindungi dan mengayomi keluarga. Sungguh bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan, kecuali oleh ibu yang kuat dan hebat seperti Ibunya. Dia beruntung telah bangun dari 'koma'nya selama ini. Dia bersyukur, hatinya telah terbuka. Dia mengetahui seutuhnya, bahwa Tuhan memiliki sesuatu yang indah dibalik rasa pahit yang diberikan-Nya.
Dia bersyukur, Ayahnya pergi dengan jalan yang baik dan meninggalkan suatu kesan yang baik dihatinya setelah selama ini diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk bersamanya walau dengan waktu tak selama yang dia bayangkan.
Dia bersyukur, memiliki seorang Ibu hebat, yang kuat menjadi tempatnya bersandar. Ibu yang pantas menerima penghormatan tertinggi darinya. Ibu sang pelita hati yang melahirkannya dengan kasih sayang yang tak terhitung jumlahnya.
Dia bersyukur, menjadi bagian keluarga kecil yang indah, menjadi anak dari ayah dan ibunya. Dan dipilih Tuhan untuk mengalami proses pembelajaran yang tak semua orang mengalaminya seperti ini.
Karena dia yakin, sangat yakin bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik dan memberikan hal terindah di ujung jalan nanti ketika dia telah melaluinya dengan baik.
"Terimakasih Tuhan.."
Yang pergi, memang mungkin takkan pernah kembali, namun kepergiannya adalah yang terbaik.
Karena selalu ada jalan baru yang memiliki gudang pelajaran, hikmah dan keindahan yang belum tentu dapat dinikmati bagi mereka yang tidak mengalami bagaimana rasanya ditinggalkan.
Jempol..
BalasHapustrims :)
BalasHapus