Berawal dari mimpi~
06 September 2012
Beberapa waktu yang lalu, ini hanya sebuah keinginan. Melakukan perjalanan panjang menelusuri jengkal-jengkal sebagian kecil dari tanah air ini. Modal yang tak banyak, waktu yang sedikit tergesa namun dengan harapan yang besar. Tepatnya adalah harapan yang mengembang seiring peluh yang dirasakan para mahasiswa-mahasiswi setelah bersahabat dengan dunia pendidikan pada semester akhir. Kami, "anak Sumatera yang beranjak menjelajahi dunia".
Pagi ini, tanggal enam September duaribu dua belas dengan carrier berisi perlengkapan yang diperkirakan cukup untuk dua minggu kedepan. Kami duduk di kursi kereta ekonomi saling berhadapan. Hanya kami berempat yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melakukan perjalanan ini, setelah beberapa orang "gugur" dalam mimpi mereka untuk menggapai mimpi-mimpi lain. Masih tak menyangka hari ini terjadi. Kami berempat saling berpandangan.
"Hanya kami berempat.." kataku dalam hati.
"Masih gak nyangka bisa pergi juga, walaupun yang jadi cuma segini" ungkap Nova.
"Yah.. dan yang lain cuma bisa ikut nganter, padahal persiapan udah rampung serampung rampungnya. kak Jai, Enda, Ria, dan lain-lain. Hhh.. Sayang bener.." tambah Dika.
Aku dan Dika menginap di rumah Enda tadi malam, karena selain bisa berangkat bersamaan dengan Dika, rumah Enda pun tak jauh dari stasiun. Hanya butuh 5 menit dengan kendaraan bermotor. Sedangkan Nova diantar Jai yang bertempat tinggal berdekatan.
Aku dan Dika menginap di rumah Enda tadi malam, karena selain bisa berangkat bersamaan dengan Dika, rumah Enda pun tak jauh dari stasiun. Hanya butuh 5 menit dengan kendaraan bermotor. Sedangkan Nova diantar Jai yang bertempat tinggal berdekatan.
"Hahaha, yasudahlah yang penting kita sekarang jadi pergi. Pokoknya tetep pergi, yang penting jangan sendiri. Hehehe" Harry nimbrung dengan gayanya yang sok cuek.
Kami menghela nafas cukup dalam. Berdoa, semoga perjalanan ini lancar dan menyenangkan.
Bayangan tentang Pulau Sempu, Bromo dan Malang sudah lama membius pikiran kami. Tapi kali ini, bayangan itu menusuk-nusuk hingga menjalar keseluruh tubuh. Tetap optimis walaupun rasa khawatir masih saja ada. Sedikit berlebihan jika mengingat Bromo sudah menjadi tempat wisata yang siapapun bisa mengunjunginya, namun kami rasa kami berbeda, perjalanan kami lebih panjang, lebih lama dan lebih berkesan karena perjalanan kami tidak akan "biasa" tidak akan pernah menjadi "biasa".
Pukul 02.10 dini hari , 07 September 2012
Masih ada rasa kantuk yang mengendap walaupun sudah seharian ini melakukan aktivitas monoton (Tidur-ngemil-ngobrol-tidur-ngemil-ngobrol) untuk menghabiskan waktu di perjalanan yang baru saja dimulai. Dini hari ini, kami terpaksa terjaga karena kami harus melanjutkan perjalanan dari Bakau ke Merak menggunakan kapal ferry. Kembali berjalan, kembali memikul carrier yang "cukup" berat dan kembali mengumpulkan bagian-bagian puzzle yang akan kami rangkai di akhir nanti. Di jalur penumpang kapal kami bertemu dengan sekelompok orang dengan seragam hitam juga sedang berjalan menuju kapal. Terdapat tulisan INKANAS di seragam tersebut, dan terdapat pula tulisan KARATE di bagian samping tas punggung mereka. Sedikit penasaran, kami mengikuti mereka dari belakang dan berharap mendapatkan sebuah teguran persahabatan setelahnya.
Sesampainya di dalam kapal, kami duduk di luar ruangan. Merasakan angin malam yang dingin, lampu-lampu di daratan yang gemerlip dari kejauhan serta dilengkapi riak air di permukaan laut. Teguran yang dinantikan pun datang.
"Abis naik gunung mas?" tanya salah satu anggota kelompok berbaju hitam yang kami duga pemimpin mereka.
"Oh enggak mas, baru mau." jawab Harry kemudian.
"Oo, kirain abis dari Dempo, memangnya mau kemana?" tanyanya lagi.
"Mau ke Bromo mas"
"Naik apa?"
"Naik kereta dari Jakarta ke Malang mas rencananya"
"Udah ada tiket? susah loh kalau belum, sistem pembelian tiket sekarang udah beda soalnya"
"Belum mas.."
Percakapan itu terus mengalir, banyak hal yang kami dapat salah satunya tentang tiket yang rencananya akan kami beli di loket setibanya di Jakarta siang nanti ternyata sudah habis terjual dan tiket beberapa hari kedepan sudah sulit untuk didapatkan. Mereka yang memesan tiket dari dua hari yang lalu saja baru mendapatkan tiket untuk besok. Kami pun dengan senang hati memutuskan untuk ikut bersama mereka setelah ditawarkan untuk bergabung karena tujuan kami sama, yaitu Kota Malang dan kami sama-sama dari Pulau Sumatera.
Banyak cerita, satu jam pun berlalu. Tepat di tengah perjalanan Bakau-Merak, tanda peringatan kapal berbunyi dan dilanjutkan pemberitahuan dari nahkoda kapal bahwa kapal yang saat itu kami naiki mengalami kebocoran pipa. Kami diminta untuk tidak panik, tetap tenang dan terus berdoa. Aku merasa setengah sadar waktu itu, kantukku tak tertahan lagi. Angin malam itu pun mengelus manja, mengantarku tidur di sandaran carrier ku sendiri. Hangat. Setelah sebelumnya kulihat lampu-lampu di daratan semakin terang, kemudian bertambah terang setelah lampu kapal kami redup lalu mati. Indah, indah sekali. Tak lupa beberapa bintang yang berkedip seolah memintaku cepat tidur. Tenang, menenangkan, dan akupun tertidur tanpa ingat situasi genting yang sebenarnya sedang terjadi.
"Masih mati lampu, berarti bantuan belum datang" entah siapa yang berbicara, yang jelas suara itulah yang membangunkanku. Pukul setengah empat subuh. Angin laut masih dingin dan lampu kapal masih mati dan aku masih mengantuk. Kulirik teman-temanku yang lain, mereka juga tertidur. Untunglah semua tidak panik dan aku tertidur. Lagi.
Jam menunjukan pukul lima, kami terbangun serempak, bersyukur lampu kapal sudah hidup dan diketahui, kapal telah kembali normal. Nahkoda kembali menginformasikan kepada seluruh penumpang bahwa bantuan dari Merak telah cukup sigap dalam menangani gangguan kapal. Semuanya mengucap kata syukur. Kami semua masih baik-baik saja. Terimakasih Tuhan, Engkaupun memberikan kami ketenangan hati.
Pukul 08.30 , Stasiun Senen.
"Hari ini tak ada tiket kami dapat, besok? lusa? katanya sudah habis semua?" kata-kata itu berputar di otak kami masing-masing.
Setelah tiba di Stasiun, kami langsung menuju loket dan mendapatkan informasi bahwa tiket kereta api tujuan Malang dan Surabaya telah habis hingga tanggal 9 September. Ini berarti, jika kami benar-benar tidak mendapatkan tiket, kami akan menginap di stasiun selama 2 malam. Jakarta, dengan kesan "tak aman" yang dimilikinya.
Malam ini, kami dan Team Karate Inkanas menginap di tempat ini. Ternyata bukan hanya kami yang bermalam disana. Namun, kami lah yang membuat suasana stasiun malam itu ramai sekali. Para penumpang kereta api yang lain, baik yang akan segera berangkat atau yang mungkin juga bernasib sama dengan kami, tak lepas melemparkan pandangan mereka pada kami. Kami dengan perlengkapan camping lengkap. Seakan kami memang berencana menginap di Senen malam ini. Team Inkanas yang seru dan tak pernah habis bahan obrolan membuat kami tak pernah merasa bosan.
Malam semakin larut, stasiun semakin tak ramai, tiba-tiba ada seorang ibu yang menghampiri kami yang masih ramai dengan celotehan dan suara yang mengaduh mungkin sampai pada ujung koridor stasiun. Ibu itu terlihat bingung dan khawatir, ia membawa satu plastik hitam besar dan mengapit sebuah tas tangan dan kemudian bertanya. "bolehkah saya gabung?" , dengan semangat kami menjawab secara bersamaan "ayo bu mari, duduk bareng-bareng aja disini"
"Ibu darimana?" tanya Sensei, pelatih Karate Inkanas langsung.
"Dari Sumatera dek" ia menjawab dengan lemah. Mata kami membulat mendengar jawabannya dan refleks berteriak "waaah.. Sumateraa, sumatera mana bu?"
"Sumatera Selatan dek.. "
"Wooo.. Sumatera Selatan" Kami berteriak lagi.
"Wong kita galau , wong kito galau" teriak Onggok, salah satu dari team karate Inkanas. Ibu itu terlihat kaget dan masih terlihat bingung.
"Duduk sini bu, kami juga dari Sumatera, ini mereka dari Palembang dan kami berlima dari Lampung" terang Sensei. Sensei memang orang yang sangat bersahabat dengan siapa pun, supel dan ramah kepada setiap orang yang ditemuinya. Kesan pertama saat bertemu yaitu kasar dan angkuh ternyata sama sekali salah, begitu juga dengan empat orang anak murid nya. Mereka semua bersahabat.
Ibu itu bernama Susi, kami memutuskan memanggilnya dengan sebutan "ayuk" yang berarti "kakak" mengingat ia datang dari Sumatera Selatan tepatnya daerah Pagar Alam. Ia kebingungan karena setibanya di Stasiun Senen ia tidak mendapatkan tiket. Sama seperti kami, yang terpaksa menginap di tempat ini. Ia khawatir, dengan siapa dia bermalam disini, tak ada satupun orang yang ia kenal. Untuk pergi makan pun ia sulit, karna harus membawa plastik besar yang ternyata berisi kopi. Cukup berat. Bisa percaya pada siapa ia disini, di tempat yang dikenal "jahat" bagi pendatang. Ia takut. Berulang kali ia menangis, meminta bantuan kepada penjaga keamanan, dan orang sekitar. Namun penjaga keamanan pun tak bisa banyak membantu dan orang yang ia temui kebanyakan adalah orang yang akan segera berangkat dan telah memiliki tiket. Ia juga telah menelpon keluarganya di Malang (ternyata kota tujuan kami sama). Keluarganya ikut khawatir, namun tak dapat berbuat banyak. Sampai akhirnya ia menemukan kami. Wajahnya terlihat lelah, namun ada kelegaan di dalamnya.
Tengah malam, Stasiun Senen.
Sensei mengajak Harry dan Dika menemui seseorang. Aku dan teman yang lain tetap tinggal, mempersiapkan posisi untuk tidur. Tak lama kemudian Harry, Dika dan Sensei datang membawa kabar baik. Harry menyerahkan 5 lembar kertas bertuliskan "Jkt-Sby 14.20, 08 September 2012" . Kami tersenyum dan bersyukur kembali. Tuhan.. terimakasih..
08 September 2012, pukul 11.30.
Akan terjadi perpisahan untuk pertemuan pertama kami dengan team kamikaze great giant Inkanas siang ini. Jam keberangkatan kereta kami berbeda. Mereka berlima telah sangat banyak membantu kami. Tuhan sengaja mengirimkan mereka untuk memberi kami kemudahan, perjalanan menyenangkan walau perjalanan kami masih berjarak "sejengkal" dari rumah. Pertemuan yang singkat namun meninggalkan kenangan yang tak akan terlupakan, kesan baik dan diharapkan silaturahmi ini tak akan pernah putus.
Bahagia sekali mengenal mereka. Hati-hati sahabat.. semoga kita bisa bertemu lagi nanti.. Terimakasih untuk pertemuan ini.
Selepas mereka pergi, suasana mendadak sepi. Hanya ada kami berlima (Aku, Dika, Nova, Harry dan Yuk Susi), seperti merasakan ada yang hilang. Kami pun segera bergegas merapihkan barang kami, menggulung terpal kembali, merapikan carrier dan perlengkapan lainnya ditemani lalu lalang pengantar atau penumpang kereta api lain. Kami siap melanjutkan perjalanan panjang berikutnya.
Diperjalanan panjang menuju Surabaya, yang semula diwarnai kericuhan di pintu masuk karna padatnya manusia dengan tingkat keegoisan masing.masing, jadwal masuk ruang tunggu yang terlambat dan hal lainnya membuat kami sedikit "panas" namun tetap tak mengubah semangat kami menemui kota tujuan, Malang.
Kami berempat dan Yuk Susi bertambah akrab, bercerita apapun yang pernah kami alami, orang-orang yang kami sayangi, hingga kembali memutar cerita kami ketika pertama kali bertemu. Menyenangkan.
09 September 2012, pukul 05.10. Stasiun Pasar Turi, Surabaya.
Pagi ini terang sekali, tak seperti Palembang yang masih gelap di pukul 05.30. Kami tiba di stasiun Pasar Turi, ada yang menunggu kami disana rupanya. Suami Yuk Susi yang memang menetap cukup lama disana menjemput kami. Kemudian ia mengantar kami kerumah kerabat terdekat Yuk Susi di Malang, Yuk Erin. Tak pernah menyangka akan bertemu orang-orang se'hangat' mereka di tempat yang jauh dari rumah, tiada sanak maupun teman yang kami punya di kota ini sebelumnya. Merasa beruntung sekali, kami disambut hangat keluarga besar Bapak Kgs Arifin. Mereka semua ramai berdatangan ke rumah saudara mereka tempat kami menginap. Aku, Dika, Harry dan Nova terpukau dengan kebiasaan mereka yang terlihat begitu menghangatkan itu, mengecup kening dan mencium pipi kanan dan kiri ketika bertemu plus pelukan hangat ketika mereka pulang. Hangat sekali, keluarga ini menakjubkan.
Kami pun dijamu dengan sangat baik, lebih tepatnya kami itu sangat merepotkan!
10 September 2012
Hari ini belum ada kegiatan "trip" menuju tempat-tempat di Malang kami lanjutkan. Kami masih mengumpulkan lebih banyak lagi energi untuk menuju tempat tujuan. Sempu, Bromo dan lain-lain. Kami berencana akan menuju Sempu esok hari, menginap untuk semalam disana kemudian kembali ke rumah ini. Suami dari Yuk Susi yang mengantar kami kemarin mengirimkan seseorang untuk menemui kami, untuk membantu kami menuju Sempu dan menyiapkan mobil sewaan untuk kami pakai esok. Kami sangat berterima kasih untuk niat baik Pak ___ membantu kami. Namun, keesokan harinya, ketika semuanya sudah siap dan rencana untuk beberapa hari kedepanpun sudah matang. Permasalahan tak terduga datang. Driver dan "perantara" mobil sewaan kami tidak ada kabar sama sekali, panggilan pun tak kunjung dijawab. Kami mulai khawatir, waktu tiba untuk menjemput kami pun sudah lewat 3 jam. DP kendaraan pun sudah kami bayar. Kecewa sekali rasanya. Sempu... oh Sempu...
Satu jam kemudian driver dan "perantara" itu pun datang, kami sudah malas menghadapi mereka. Alasanpun mereka keluarkan lebih dari satu, mulai dari tidak ada kendaraan (What? seharusnya ini sudah mereka siapkan ketika berani mengatakan "deal"), mobil pecah ban (Ada alasan lain yang lebih logis?), kemudian macet (well, cukup!).
Kami pun akhirnya memutuskan untuk membatalkan kerjasama. Namun sepertinya pihak musuh tidak ingin rugi. Salah satu dari mereka mengatakan "kami tidak membawa cukup uang untuk mengembalikan uang DP, sisanya akan saya antarkan nanti malam" namun sampai pagi keesokan harinya, batang hidung mereka tidak lagi kelihatan, dan yang paling menyesakan adalah kami tidak jadi ke Sempu.
Ada hikmah dibalik kekecewaan~
Malam ini, keluarga besar dari Bapak Kgs. Aripin berkumpul. Kami kembali bertemu keluarga-keluarga baru yang menakjubkan. Om Hendri (Kakak dari Yuk Susi) datang dan bercerita banyak hal, mulai dari tempat-tempat wisata di Malang, hingga sharing mengenai perjalanannya terdahulu menyangkut pula tujuan kami berani melakukan perjalanan panjang dari Pulau Sumatera. Kami juga diperkenalkan dengan dua orang anaknya, Mas Angga dan Soma yang sengaja Ia panggil untuk bertemu dengan kami di rumah Yuk Erin. Kami juga baru mengetahui, bahwa ternyata Suami Yuk Erin adalah penulis Internasional yang namanya sudah sangat familiar di dunia Jurnalistik, yaitu Mas Akaha Taufan Aminudin. Penulis asli Batu ini memiliki kesan yang "dingin" pada saat kami pertama kali bertemu, ada rasa segan untuk berbicara banyak padanya. Namun ternyata, sosok Mas Akaha adalah sosok yang sangat sangat humoris. Penulis yang romantis dan lucu sekali. Selalu saja ada hal menarik yang keluar dari kata-katanya. Sosok yang dapat merubah suasana menjadi meriah, dan cara tertawanya itu selalu kami ingat, terdengar sangat menikmati apa yang Ia tertawakan, sehingga membuat kami pun ikut berada dalam keriangan suasananya. Semalam saja begini, kami sudah merasa sangat dekat dengan keluarga besar ini. Nyaman sekali..
Kalau kami tadi jadi ke Sempu, kami tak akan bertemu moment berharga ini~
11 September 2012
Hari ini kami bersiap menuju Bromo. Setelah menerima banyak masukan dari Om Hendri, Mas Akaha dan keluarga yang lain, kami memutuskan untuk semalam saja menetap di Bromo, berubah dari rencana sebelumnya yang diperkirakan dua hingga tiga hari. Kami mulai mempersiapkan kembali carrier yang akan kami bawa. Wak Ibu (Ibu dari Yuk Susi) terlihat khawatir melepas kami pergi. Beliau memang tulus sekali. Tuturnya yang lembut, nada bicara yang selalu sopan, khas Jawa nya kental sekali. Ramah. Kata-kata Wak Ibu yang selalu kami ingat adalah ketika beliau bercerita dan beliau memanggil kami dengan sebutan "Nduk". Terlebih aku, yang merasa sangat senang sekali mendapatkan julukan "ragil" dari beliau.
Pukul sepuluh pagi, kami berangkat menuju Bromo melalui jalur Probolinggo~
Sekitar pukul dua siang kami tiba di terminal mobil jalur Bromo. Kami menjadi penumpang pertama yang datang menempati tempat duduk. Belum ada penumpang lain yang terlihat. Kami menunggu di sebuah warung makan sambil menumpang mengisi baterai. Sudah cukup lama kami menunggu, satu jam sudah lewat. Kami kembali melihat kearah mobil, terlihat ada dua orang warga negara asing yang sedang menaiki barang bawaan mereka diatas mobil. Seorang pemuda dan seorang pemudi berumur sekitar dua puluh lima yang sepertinya sedang dimabuk cinta. Kami berempat melihat mereka kemudian saling berpandangan.
Waktu menunjukan pukul empat sore, kami sudah terlalu kesal menunggu. Begitu juga dengan dua orang bule di bangku paling belakang sepertinya. Ditengah hening, seorang bule (lagi) memasuki mobil dan duduk di tengah barisan bangku antara kami berempat dan dua orang pasangan bule sebelumnya. Dia tersenyum ramah.
Dia bernama Ula~
Kami berempat dan Ula ( bule berumur dua puluh lima) berkenalan saat kami hampir sampai daerah penginapan di Cemoro Lawang. Dia merupakan warga negara Ukraina berparas cantik, ramah dan sepertinya sangat berjiwa petualang. Dia bercerita bahwa tujuannya ke Indonesia adalah mengunjungi Candi Borobudur. Sejak umurnya sepuluh tahun, neneknya memberikan sebuah majalah ber-cover photo Candi Borobudur-Indonesia. Dia sangat penasaran, ternyata di dunia ini ada tempat seperti ini. Batu-batuan yang tersusun rapi, kekentalan budaya di dalamnya, serta berbau sejarah. Sejak saat itulah dia bertekad untuk menuju tempat itu. Keberaniannya untuk melakukan perjalanan panjang ini sendiri, mendaki gunung, melewati gurun-gurun pasir dan tempat-tempat yang sulit dicapai sudah ia latih sejak ia berumur tujuh belas. Sehingga akhirnya dia memutuskan menelusuri negara Ini, menjelajahi pulau ke pulau, di mulai mendarat di Bandara Soekarno Hatta, melewati Provinsi Jawa Barat menuju Bali, menetap untuk beberapa hari, kemudian menuju Lombok, kemudian kesini, Gunung Bromo. Dia menceritakan juga pengalamannya di Pulau Bali, disana dia memiliki ibu angkat yang menemukannya ketika dia berjalan di suatu perkampungan sarat penduduk yang jauh dari daerah wisata. Ibu itu meminjamkannya sebuah sepeda motor yang dapat dia pakai kemanapun mengitari Bali. Di kota turis ini pula, dia sempat mengalami kecelakaan, dia terpaksa mengerem mendadak sepeda motornya untuk menghindari seekor anjing yang menyebrang tiba-tiba di depannya. Dia tidak ingin menabrak dan melukai anjing tersebut. Namun itu berarti dia terpaksa melukai dirinya sendiri. Kakinya berdarah, banyak sekali luka yang memenuhi badannya. Kami berempat masih bisa melihat lukanya. Cukup besar di bagian kaki, terbuka begitu saja tanpa perban. Separuhnya masih berdarah-darah ngeri sekali. Tapi dia terlihat baik-baik saja.
Bule satu ini ternyata tidak terlalu menyukai Bali, karena dia pikir Bali tidak terasa Indonesia. Sudah banyak orang luar -bule sepertinya- memenuhi Bali dan itu bukanlah yang ia cari. Dia masih tidak bisa menunggu untuk tempat-tempat tujuannya berikutnya. Semeru dan Yogya. Kami ternganga mendengar bule satu ini bercerita. Kagum. Perempuan, cantik, sendirian melakukan perjalanan sejauh itu, hanya bermodalkan tas (bukan carrier) dan terdapat satu buku full tentang Indonesia. Fabulous!
Hari semakin gelap dan suhu dingin di Bromo mulai menusuk-nusuk, tiga lapis pakaian hangat pun rasanya kurang.
13 September 2012
Pukul 04.30
Matahari masih malu-malu terbit, namun kami telah bersiap menyambutnya di penanjakan Bromo. Indah sekali. Tak banyak yang bisa kami ucapkan, hanya kekaguman melihat salah satu lukisan Tuhan yang maha agung.
Inilah keindahannya~
14 September 2013
Pagi yang indah, masih di Cemoro lawang.
Kami bersiap untuk kembali ke Malang, kembali ke rumah Bpk. Akaha dan kembali merepotkan mereka.
Kami berencana, sesampainya disana kami akan mengemasi barang-barang, menjelajahi Malang (lagi) dan kemudian kembali ke Palembang. Namun ternyata ketika tiba disana, keluarga ini sedang dalam moment berbahagia, Yuk Erin -Istri dari Bpk. Akaha- sedang berulang tahun tepat hari ini. Kedatangan kami disambut sangat baik, kami pun diminta ikut untuk perayaannya malam nanti. Mereka pun tak memberi izin untuk niat kami melanjutkan perjalanan hari itu. (Tuhan, sungguh Engkau yang mengatur semuanya..). Berkumpul dengan keluarga indah ini lagi...
Keesokan harinya..
Hari yang cerah untuk memulai kembali perjalanan kami, setelah banyak mendapatkan masukan, kami pun berpamitan dan memutuskan untuk menjelajahi Kota Batu dan menginap di salah satu area perkemahan disana. Ya, kami akan berkemah! Coban Talun, tujuan kami berikutnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari kota Malang, akhirnya kami sampai di tempat ini. Untuk mencapai air terjun ini, kami harus melalui jalan turunan yang berliku dimulai dari gerbang tempat kami masuk area perkemahan. Perjalanan ini cukup jauh, lama dan banyak menyita tenaga. Mengingat barang bawaan kami tidak sedikit. Namun kami tetap berharap untuk segera menemukan air segar dan lukisan Tuhan lainnya. Dan, inilah Coban Talun itu~
Pagi hari ini kami disambut wanginya dedaunan, diiringi suara aliran air di bawah sana~
Sungguh, nikmat Tuhan takkan pernah habis..
Well, cerita indah ini belum berakhir, hidup ini masih panjang :D
"Masih mati lampu, berarti bantuan belum datang" entah siapa yang berbicara, yang jelas suara itulah yang membangunkanku. Pukul setengah empat subuh. Angin laut masih dingin dan lampu kapal masih mati dan aku masih mengantuk. Kulirik teman-temanku yang lain, mereka juga tertidur. Untunglah semua tidak panik dan aku tertidur. Lagi.
Jam menunjukan pukul lima, kami terbangun serempak, bersyukur lampu kapal sudah hidup dan diketahui, kapal telah kembali normal. Nahkoda kembali menginformasikan kepada seluruh penumpang bahwa bantuan dari Merak telah cukup sigap dalam menangani gangguan kapal. Semuanya mengucap kata syukur. Kami semua masih baik-baik saja. Terimakasih Tuhan, Engkaupun memberikan kami ketenangan hati.
Pukul 08.30 , Stasiun Senen.
"Hari ini tak ada tiket kami dapat, besok? lusa? katanya sudah habis semua?" kata-kata itu berputar di otak kami masing-masing.
Setelah tiba di Stasiun, kami langsung menuju loket dan mendapatkan informasi bahwa tiket kereta api tujuan Malang dan Surabaya telah habis hingga tanggal 9 September. Ini berarti, jika kami benar-benar tidak mendapatkan tiket, kami akan menginap di stasiun selama 2 malam. Jakarta, dengan kesan "tak aman" yang dimilikinya.
Malam ini, kami dan Team Karate Inkanas menginap di tempat ini. Ternyata bukan hanya kami yang bermalam disana. Namun, kami lah yang membuat suasana stasiun malam itu ramai sekali. Para penumpang kereta api yang lain, baik yang akan segera berangkat atau yang mungkin juga bernasib sama dengan kami, tak lepas melemparkan pandangan mereka pada kami. Kami dengan perlengkapan camping lengkap. Seakan kami memang berencana menginap di Senen malam ini. Team Inkanas yang seru dan tak pernah habis bahan obrolan membuat kami tak pernah merasa bosan.
Malam semakin larut, stasiun semakin tak ramai, tiba-tiba ada seorang ibu yang menghampiri kami yang masih ramai dengan celotehan dan suara yang mengaduh mungkin sampai pada ujung koridor stasiun. Ibu itu terlihat bingung dan khawatir, ia membawa satu plastik hitam besar dan mengapit sebuah tas tangan dan kemudian bertanya. "bolehkah saya gabung?" , dengan semangat kami menjawab secara bersamaan "ayo bu mari, duduk bareng-bareng aja disini"
"Ibu darimana?" tanya Sensei, pelatih Karate Inkanas langsung.
"Dari Sumatera dek" ia menjawab dengan lemah. Mata kami membulat mendengar jawabannya dan refleks berteriak "waaah.. Sumateraa, sumatera mana bu?"
"Sumatera Selatan dek.. "
"Wooo.. Sumatera Selatan" Kami berteriak lagi.
"Wong kita galau , wong kito galau" teriak Onggok, salah satu dari team karate Inkanas. Ibu itu terlihat kaget dan masih terlihat bingung.
"Duduk sini bu, kami juga dari Sumatera, ini mereka dari Palembang dan kami berlima dari Lampung" terang Sensei. Sensei memang orang yang sangat bersahabat dengan siapa pun, supel dan ramah kepada setiap orang yang ditemuinya. Kesan pertama saat bertemu yaitu kasar dan angkuh ternyata sama sekali salah, begitu juga dengan empat orang anak murid nya. Mereka semua bersahabat.
Ibu itu bernama Susi, kami memutuskan memanggilnya dengan sebutan "ayuk" yang berarti "kakak" mengingat ia datang dari Sumatera Selatan tepatnya daerah Pagar Alam. Ia kebingungan karena setibanya di Stasiun Senen ia tidak mendapatkan tiket. Sama seperti kami, yang terpaksa menginap di tempat ini. Ia khawatir, dengan siapa dia bermalam disini, tak ada satupun orang yang ia kenal. Untuk pergi makan pun ia sulit, karna harus membawa plastik besar yang ternyata berisi kopi. Cukup berat. Bisa percaya pada siapa ia disini, di tempat yang dikenal "jahat" bagi pendatang. Ia takut. Berulang kali ia menangis, meminta bantuan kepada penjaga keamanan, dan orang sekitar. Namun penjaga keamanan pun tak bisa banyak membantu dan orang yang ia temui kebanyakan adalah orang yang akan segera berangkat dan telah memiliki tiket. Ia juga telah menelpon keluarganya di Malang (ternyata kota tujuan kami sama). Keluarganya ikut khawatir, namun tak dapat berbuat banyak. Sampai akhirnya ia menemukan kami. Wajahnya terlihat lelah, namun ada kelegaan di dalamnya.
Tengah malam, Stasiun Senen.
Sensei mengajak Harry dan Dika menemui seseorang. Aku dan teman yang lain tetap tinggal, mempersiapkan posisi untuk tidur. Tak lama kemudian Harry, Dika dan Sensei datang membawa kabar baik. Harry menyerahkan 5 lembar kertas bertuliskan "Jkt-Sby 14.20, 08 September 2012" . Kami tersenyum dan bersyukur kembali. Tuhan.. terimakasih..
08 September 2012, pukul 11.30.
Akan terjadi perpisahan untuk pertemuan pertama kami dengan team kamikaze great giant Inkanas siang ini. Jam keberangkatan kereta kami berbeda. Mereka berlima telah sangat banyak membantu kami. Tuhan sengaja mengirimkan mereka untuk memberi kami kemudahan, perjalanan menyenangkan walau perjalanan kami masih berjarak "sejengkal" dari rumah. Pertemuan yang singkat namun meninggalkan kenangan yang tak akan terlupakan, kesan baik dan diharapkan silaturahmi ini tak akan pernah putus.
Bahagia sekali mengenal mereka. Hati-hati sahabat.. semoga kita bisa bertemu lagi nanti.. Terimakasih untuk pertemuan ini.
Selepas mereka pergi, suasana mendadak sepi. Hanya ada kami berlima (Aku, Dika, Nova, Harry dan Yuk Susi), seperti merasakan ada yang hilang. Kami pun segera bergegas merapihkan barang kami, menggulung terpal kembali, merapikan carrier dan perlengkapan lainnya ditemani lalu lalang pengantar atau penumpang kereta api lain. Kami siap melanjutkan perjalanan panjang berikutnya.
Diperjalanan panjang menuju Surabaya, yang semula diwarnai kericuhan di pintu masuk karna padatnya manusia dengan tingkat keegoisan masing.masing, jadwal masuk ruang tunggu yang terlambat dan hal lainnya membuat kami sedikit "panas" namun tetap tak mengubah semangat kami menemui kota tujuan, Malang.
Kami berempat dan Yuk Susi bertambah akrab, bercerita apapun yang pernah kami alami, orang-orang yang kami sayangi, hingga kembali memutar cerita kami ketika pertama kali bertemu. Menyenangkan.
09 September 2012, pukul 05.10. Stasiun Pasar Turi, Surabaya.
Pagi ini terang sekali, tak seperti Palembang yang masih gelap di pukul 05.30. Kami tiba di stasiun Pasar Turi, ada yang menunggu kami disana rupanya. Suami Yuk Susi yang memang menetap cukup lama disana menjemput kami. Kemudian ia mengantar kami kerumah kerabat terdekat Yuk Susi di Malang, Yuk Erin. Tak pernah menyangka akan bertemu orang-orang se'hangat' mereka di tempat yang jauh dari rumah, tiada sanak maupun teman yang kami punya di kota ini sebelumnya. Merasa beruntung sekali, kami disambut hangat keluarga besar Bapak Kgs Arifin. Mereka semua ramai berdatangan ke rumah saudara mereka tempat kami menginap. Aku, Dika, Harry dan Nova terpukau dengan kebiasaan mereka yang terlihat begitu menghangatkan itu, mengecup kening dan mencium pipi kanan dan kiri ketika bertemu plus pelukan hangat ketika mereka pulang. Hangat sekali, keluarga ini menakjubkan.
Kami pun dijamu dengan sangat baik, lebih tepatnya kami itu sangat merepotkan!
10 September 2012
Hari ini belum ada kegiatan "trip" menuju tempat-tempat di Malang kami lanjutkan. Kami masih mengumpulkan lebih banyak lagi energi untuk menuju tempat tujuan. Sempu, Bromo dan lain-lain. Kami berencana akan menuju Sempu esok hari, menginap untuk semalam disana kemudian kembali ke rumah ini. Suami dari Yuk Susi yang mengantar kami kemarin mengirimkan seseorang untuk menemui kami, untuk membantu kami menuju Sempu dan menyiapkan mobil sewaan untuk kami pakai esok. Kami sangat berterima kasih untuk niat baik Pak ___ membantu kami. Namun, keesokan harinya, ketika semuanya sudah siap dan rencana untuk beberapa hari kedepanpun sudah matang. Permasalahan tak terduga datang. Driver dan "perantara" mobil sewaan kami tidak ada kabar sama sekali, panggilan pun tak kunjung dijawab. Kami mulai khawatir, waktu tiba untuk menjemput kami pun sudah lewat 3 jam. DP kendaraan pun sudah kami bayar. Kecewa sekali rasanya. Sempu... oh Sempu...
Satu jam kemudian driver dan "perantara" itu pun datang, kami sudah malas menghadapi mereka. Alasanpun mereka keluarkan lebih dari satu, mulai dari tidak ada kendaraan (What? seharusnya ini sudah mereka siapkan ketika berani mengatakan "deal"), mobil pecah ban (Ada alasan lain yang lebih logis?), kemudian macet (well, cukup!).
Kami pun akhirnya memutuskan untuk membatalkan kerjasama. Namun sepertinya pihak musuh tidak ingin rugi. Salah satu dari mereka mengatakan "kami tidak membawa cukup uang untuk mengembalikan uang DP, sisanya akan saya antarkan nanti malam" namun sampai pagi keesokan harinya, batang hidung mereka tidak lagi kelihatan, dan yang paling menyesakan adalah kami tidak jadi ke Sempu.
Ada hikmah dibalik kekecewaan~
Malam ini, keluarga besar dari Bapak Kgs. Aripin berkumpul. Kami kembali bertemu keluarga-keluarga baru yang menakjubkan. Om Hendri (Kakak dari Yuk Susi) datang dan bercerita banyak hal, mulai dari tempat-tempat wisata di Malang, hingga sharing mengenai perjalanannya terdahulu menyangkut pula tujuan kami berani melakukan perjalanan panjang dari Pulau Sumatera. Kami juga diperkenalkan dengan dua orang anaknya, Mas Angga dan Soma yang sengaja Ia panggil untuk bertemu dengan kami di rumah Yuk Erin. Kami juga baru mengetahui, bahwa ternyata Suami Yuk Erin adalah penulis Internasional yang namanya sudah sangat familiar di dunia Jurnalistik, yaitu Mas Akaha Taufan Aminudin. Penulis asli Batu ini memiliki kesan yang "dingin" pada saat kami pertama kali bertemu, ada rasa segan untuk berbicara banyak padanya. Namun ternyata, sosok Mas Akaha adalah sosok yang sangat sangat humoris. Penulis yang romantis dan lucu sekali. Selalu saja ada hal menarik yang keluar dari kata-katanya. Sosok yang dapat merubah suasana menjadi meriah, dan cara tertawanya itu selalu kami ingat, terdengar sangat menikmati apa yang Ia tertawakan, sehingga membuat kami pun ikut berada dalam keriangan suasananya. Semalam saja begini, kami sudah merasa sangat dekat dengan keluarga besar ini. Nyaman sekali..
Kediaman Bpk. Akaha Taufan Aminudin , Malang.
Stadion Gajayana, Malang
Masjid Musiman Kota Malang
Kalau kami tadi jadi ke Sempu, kami tak akan bertemu moment berharga ini~
11 September 2012
Hari ini kami bersiap menuju Bromo. Setelah menerima banyak masukan dari Om Hendri, Mas Akaha dan keluarga yang lain, kami memutuskan untuk semalam saja menetap di Bromo, berubah dari rencana sebelumnya yang diperkirakan dua hingga tiga hari. Kami mulai mempersiapkan kembali carrier yang akan kami bawa. Wak Ibu (Ibu dari Yuk Susi) terlihat khawatir melepas kami pergi. Beliau memang tulus sekali. Tuturnya yang lembut, nada bicara yang selalu sopan, khas Jawa nya kental sekali. Ramah. Kata-kata Wak Ibu yang selalu kami ingat adalah ketika beliau bercerita dan beliau memanggil kami dengan sebutan "Nduk". Terlebih aku, yang merasa sangat senang sekali mendapatkan julukan "ragil" dari beliau.
Pukul sepuluh pagi, kami berangkat menuju Bromo melalui jalur Probolinggo~
Sekitar pukul dua siang kami tiba di terminal mobil jalur Bromo. Kami menjadi penumpang pertama yang datang menempati tempat duduk. Belum ada penumpang lain yang terlihat. Kami menunggu di sebuah warung makan sambil menumpang mengisi baterai. Sudah cukup lama kami menunggu, satu jam sudah lewat. Kami kembali melihat kearah mobil, terlihat ada dua orang warga negara asing yang sedang menaiki barang bawaan mereka diatas mobil. Seorang pemuda dan seorang pemudi berumur sekitar dua puluh lima yang sepertinya sedang dimabuk cinta. Kami berempat melihat mereka kemudian saling berpandangan.
Waktu menunjukan pukul empat sore, kami sudah terlalu kesal menunggu. Begitu juga dengan dua orang bule di bangku paling belakang sepertinya. Ditengah hening, seorang bule (lagi) memasuki mobil dan duduk di tengah barisan bangku antara kami berempat dan dua orang pasangan bule sebelumnya. Dia tersenyum ramah.
Dia bernama Ula~
Kami berempat dan Ula ( bule berumur dua puluh lima) berkenalan saat kami hampir sampai daerah penginapan di Cemoro Lawang. Dia merupakan warga negara Ukraina berparas cantik, ramah dan sepertinya sangat berjiwa petualang. Dia bercerita bahwa tujuannya ke Indonesia adalah mengunjungi Candi Borobudur. Sejak umurnya sepuluh tahun, neneknya memberikan sebuah majalah ber-cover photo Candi Borobudur-Indonesia. Dia sangat penasaran, ternyata di dunia ini ada tempat seperti ini. Batu-batuan yang tersusun rapi, kekentalan budaya di dalamnya, serta berbau sejarah. Sejak saat itulah dia bertekad untuk menuju tempat itu. Keberaniannya untuk melakukan perjalanan panjang ini sendiri, mendaki gunung, melewati gurun-gurun pasir dan tempat-tempat yang sulit dicapai sudah ia latih sejak ia berumur tujuh belas. Sehingga akhirnya dia memutuskan menelusuri negara Ini, menjelajahi pulau ke pulau, di mulai mendarat di Bandara Soekarno Hatta, melewati Provinsi Jawa Barat menuju Bali, menetap untuk beberapa hari, kemudian menuju Lombok, kemudian kesini, Gunung Bromo. Dia menceritakan juga pengalamannya di Pulau Bali, disana dia memiliki ibu angkat yang menemukannya ketika dia berjalan di suatu perkampungan sarat penduduk yang jauh dari daerah wisata. Ibu itu meminjamkannya sebuah sepeda motor yang dapat dia pakai kemanapun mengitari Bali. Di kota turis ini pula, dia sempat mengalami kecelakaan, dia terpaksa mengerem mendadak sepeda motornya untuk menghindari seekor anjing yang menyebrang tiba-tiba di depannya. Dia tidak ingin menabrak dan melukai anjing tersebut. Namun itu berarti dia terpaksa melukai dirinya sendiri. Kakinya berdarah, banyak sekali luka yang memenuhi badannya. Kami berempat masih bisa melihat lukanya. Cukup besar di bagian kaki, terbuka begitu saja tanpa perban. Separuhnya masih berdarah-darah ngeri sekali. Tapi dia terlihat baik-baik saja.
Bule satu ini ternyata tidak terlalu menyukai Bali, karena dia pikir Bali tidak terasa Indonesia. Sudah banyak orang luar -bule sepertinya- memenuhi Bali dan itu bukanlah yang ia cari. Dia masih tidak bisa menunggu untuk tempat-tempat tujuannya berikutnya. Semeru dan Yogya. Kami ternganga mendengar bule satu ini bercerita. Kagum. Perempuan, cantik, sendirian melakukan perjalanan sejauh itu, hanya bermodalkan tas (bukan carrier) dan terdapat satu buku full tentang Indonesia. Fabulous!
Penginapan di Cemoro Lawang, Bromo.
Hari semakin gelap dan suhu dingin di Bromo mulai menusuk-nusuk, tiga lapis pakaian hangat pun rasanya kurang.
13 September 2012
Pukul 04.30
Matahari masih malu-malu terbit, namun kami telah bersiap menyambutnya di penanjakan Bromo. Indah sekali. Tak banyak yang bisa kami ucapkan, hanya kekaguman melihat salah satu lukisan Tuhan yang maha agung.
Inilah keindahannya~
Sampai nanti, sampai bertemu lagi Bromo..
14 September 2013
Pagi yang indah, masih di Cemoro lawang.
Kami bersiap untuk kembali ke Malang, kembali ke rumah Bpk. Akaha dan kembali merepotkan mereka.
Kami berencana, sesampainya disana kami akan mengemasi barang-barang, menjelajahi Malang (lagi) dan kemudian kembali ke Palembang. Namun ternyata ketika tiba disana, keluarga ini sedang dalam moment berbahagia, Yuk Erin -Istri dari Bpk. Akaha- sedang berulang tahun tepat hari ini. Kedatangan kami disambut sangat baik, kami pun diminta ikut untuk perayaannya malam nanti. Mereka pun tak memberi izin untuk niat kami melanjutkan perjalanan hari itu. (Tuhan, sungguh Engkau yang mengatur semuanya..). Berkumpul dengan keluarga indah ini lagi...
Hari yang cerah untuk memulai kembali perjalanan kami, setelah banyak mendapatkan masukan, kami pun berpamitan dan memutuskan untuk menjelajahi Kota Batu dan menginap di salah satu area perkemahan disana. Ya, kami akan berkemah! Coban Talun, tujuan kami berikutnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari kota Malang, akhirnya kami sampai di tempat ini. Untuk mencapai air terjun ini, kami harus melalui jalan turunan yang berliku dimulai dari gerbang tempat kami masuk area perkemahan. Perjalanan ini cukup jauh, lama dan banyak menyita tenaga. Mengingat barang bawaan kami tidak sedikit. Namun kami tetap berharap untuk segera menemukan air segar dan lukisan Tuhan lainnya. Dan, inilah Coban Talun itu~
Pagi hari ini kami disambut wanginya dedaunan, diiringi suara aliran air di bawah sana~
Sungguh, nikmat Tuhan takkan pernah habis..
Well, cerita indah ini belum berakhir, hidup ini masih panjang :D