Pagi ini, aku bangun dengan perasaan biasa-biasa saja. Kutarik nafas panjang dan menggeliat malas masih di atas kasur tersayangku. Di luar hujan, ketika kemudian aku beranjak dan membuka jendela petak di kamar berukuran 4x5 meter ini. Bau dan rintik-rintiknya menenangkan. Aku pejamkan mata sejenak, dan kembali membukanya sedikit terburu, khawatir pikiran ini melayang terlalu jauh, menghipnotis alam sadar yang terensonansi menuju cerita-cerita lama yang tak wajar dikenang terlalu dalam. kemudian aku tersenyum kecil dan menghela nafasku pelan.
Dua buah coklat mengakrabkan diri dengan kepalaku. Ada yang sengaja merapatkan keduanya. Lumayan (re:sakit). Tapi bukan masalah, karena pada akhirnya, coklat itulah yang membuatku tersenyum, dan tentu saja si pembawanya.
Aku tersenyum seraya menenggelamkan diri di bantal besar dari sofa ruang tengah. Ada dia disampingku saat ini. Moodku yang berantakan hilang seketika ketika dia datang beberapa menit kemudian. Dan terpenjara oleh hujan deras yang datang tiba-tiba malam itu.
Terimakasih hujan...
Sampai pada pukul sebelas malam, dia tembus hujan yang sudah mulai mereda. Waktunya dia pulang. Dan aku tetap tinggal dengan euforia kebahagian yang tak hilang-hilang bahkan hingga aku bangun dari tidurku keesokan harinya.
Aku berjalan sedikit bergegas di koridor kampus, mengingat jam sudah menunjuk pukul 08.20. Ini berarti waktuku untuk tidak terlambat tersisa sepuluh menit lagi. Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.
"Tidurmu nyenyak malam ini?" tanya seorang sahabatku Lia.
"Kenapa?" Jawabku agak ketus. Dia menghela nafasnya pelan.
"Gak apa" jawabnya lagi seraya tersenyum. Dan aku balas senyumnya dengan senyum manis, ya semanis mungkin.
"Udah beres semua?"
"Udah. Mau pulang?"
"Iya, yaudah bareng aja" Dan aku hanya membalasnya dengan satu senyuman.
Bus mahasiswa sore ini tak kalah ramai dari hari kemarin. Kursinya terisi full bahkan ada sebagian penumpang berdiri di pertengahan. Namun aku merasa hanya berdua saja. Denganmu, saat hujan turun seperti ini. Hanya satu hal yang aku ingini. Ku harap waktu berhenti saat ini juga.
"Woi! Melamun?" Suara nyaring Lia lagi-lagi menyadarkanku. Terasa seperti dihantam keping baja dengan bobot berton-ton. Aku menarik nafasku dan kemudian menghelanya sedikit lebih kencang. Lelah, itu pikirku.
"Pulang yuk" ajakku pada Lia, seraya mengambil tas tangan di kursi sebelah tempat dudukku.
Waktu menunjukan pukul 10.00 pagi. Aku sudah selesai bersiap-siap untuk pergi keluar siang ini. Dia beserta bandnya akan tampil dalam peringatan hari AIDS dunia di Balai kota. Walaupun waktu yang ditentukan untuk bertemu dengannya hari ini masih 1 jam lagi, aku sudah siap dengan senyum terbaikku. Sambil memegang handphone, aku menunggunya menjemput dengan perasaan yang luar biasa ini. Ada pesan singkat masuk sepuluh menit kemudian.
"Syg, bisa dateng kan?" Tak lama dari itu aku langsung membalasnya.
"Iya syg, bisa. Jd jmput tp kan?"
Cukup lama aku menunggu balasan, pikiran-pikiran negatif itu mulai muncul. Sampai akhirnya, handphoneku kembali bergetar.
"Nah, itulah mslhny syg, aku gak ad kndaraan. Mtor dpke kk. Gmn ya? maaf.."
Satu kata yang terangkum dalam otakku saat itu. Kecewa. Bukan kecewa karena tidak ada kendaraan. Bukan kecewa karena harus pergi sendiri ke acara yang aku tak tau situasi dan kondisi nya seperti apa. Tapi kecewa karena tak ada kah usahanya untuk membuatku hadir di acara yang penting baginya itu? Aku kembali mengusir pikiran-pikiran negatif itu. Secepat kilat aku undang pikiran-pikiran positif untuk bertamu. Aku kembali mengambil hanphone yang sempat terabaikan.
"Gak ada bener ya? yaudah, liat entar deh bisa kesana atau enggak. Aku usahain kok"
"Marah ya? maafff, dateng yaa, please.."
Aku menghela nafasku, berusaha tenang. Besok dia akan melakukan perjalanan panjang ke luar kota, hari ini hari terakhir waktuku bersamanya dalam beberapa pekan kedepan. Baiklah, terlalu egois untuk memikirkan perasaan sendiri saat ini. Ku ambil tas tanganku, kemudian pergi.
"Tugas gue numpuk begini Sa, gue butuh hiburan" Lia menarik rambutku pelan, dia membujukku untuk ikut menemaninya cuci mata sore ini. Padahal aku tau benar, dia hanya mencari alasan untuk menghiburku. Membuatku melupakan apa yang baru saja terjadi padaku belakangan ini.
"Kalau emang gak ada apa-apa, ya nggak mesti juga telponan, sms an lalu di publish di media sosial seakrab itu. Sebegitu gak ada harganya ya aku di mata kamu"
"Yaampun.. gitu doang biasa aja sih."
"haha, iya mestinya aku biasa aja ya! yaudah lanjutin deh. Apa gak ada cewe lagi selain pacar sahabat aku!"
"Ribet amat, yaudahlah kalo gak percaya!"
"Sabar itu indah loh, banyak hal yang bisa kita jadiin pelajaran. Tapi, kalau emosimu lagi labil, mendingan di ungkapin, ungkapin dengan cara yang elegan" Lia menatap langit-langit kamarku sambil berbaring di sofa, dengan kedua tangan memeluk bantal. Aku tak memandangnya, hanya melihatnya sekilas lalu kembali berbalik badan. Guling yang ku peluk ini basah, wajahku tenggelam di dalamnya. Aku lega. Ya, AKU LEGA.
Entah orang normal mana yang bisa melihat kedekatan mereka itu biasa saja. Saling menyapa di media sosial. Mengumbar janji akan menelpon satu sama lain. Menunjukan bahwa salah satu dari mereka menunggu sms masuk dan marah ketika sms tak kunjung dibalas. Entah juga apa tujuan mereka melakukan semuanya. Membukanya di forum umum, sepertinya memang sengaja. Aku tak peduli aku tak peduli aku .. peduli .
Sampai pada puncak keterbatasanku untuk bertahan, aku menyerah. Memilih untuk pergi dari dunia nya yang mungkin tidak mengizinkanku menyentuhnya lagi sedikitpun. Aku memilih diam. Menahan sesak yang aku harap suatu saat dia mengetahuinya. Akupun berharap, dia sadar apa yang telah dia lakukan! menyianyiakan aku!
Rasanya seperti memecahkan guci besar yang menghalangi jalanku, yang kemudian bunyi nya teredam oleh suara hujan deras yang tiba-tiba datang. Lebur semua, hati ini rasanya seperti debu di luar sana. Tak bisa berbuat apa-apa.
Saat itu aku berjanji, berjanji pada diriku sendiri, tangis itu adalah tangis terakhirku untuk dia. Tangis terakhirku karena dia.