Cerita sederhana ini berhasil membuahkan rasa syukur yang luar biasa, bukan hanya bagi yang mengalaminya tetapi juga aku dan orang-orang diluar sana yang mendengarnya..
Disuatu hari yang biasa.
Seorang perempuan berumur 22 tahun menelusuri lorong-lorong perpustakaan utama Universitas Sriwijaya, tempat dimana dia menjalani pendidikan sarjananya. Dia melangkah dengan gerakan yang tidak cepat, matanya terus menyapu buku-buku yang tersusun rapi di rak-rak yang sejajar. Namun dia tak jua menemukan buku yang dicarinya. Waktu menunjukan pukul 16.50, ini berarti perpustakaan akan segera tutup dalam waktu kurang dr 10 menit lagi. Dia lelah, pikirannya kosong dan dia sendirian saat ini, sahabatnya Riza yang tadi bersamanya izin untuk pulang terlebih dahulu setelah dia meminta Nazopa untuk pulang bersamanya sebelum itu. Bukan hanya buku-buku yang tidak dapat dia temukan saja yang mencarut marutkan pikirannya saat ini, tetapi banyak hal lain yang harus dia pendam tanpa harus seorangpun tahu. Sungguh dia lelah, lelah..
"Dek, perpusnya udah mau tutup, kamu gak pulang?" seseorang menyadarkannya dari lamunan. Dia beranjak dari kursi yang didudukinya seraya menatap seseorang yang menyapanya tadi namun tetap tidak bersuara..
***
Pukul 19.15 WIB.
Rumah itu penuh dengan kegelisahan, keluarga kecil yang masih lengkap itu resah. Seorang ibu dengan kerutan di dahi tak dapat menutupi perasaan khawatir terhadap anaknya yang belum pulang juga saat itu. Sang ibu tahu, ini sudah terlalu malam untuk anaknya yang meminta restu untuk pergi ke kampus pagi tadi. Anaknya tak pernah seperti ini sebelumnya, dia akan memberi kabar jika akan telat pulang. Tapi kali ini, handphone nya tak aktif dan tak ada kabar sama sekali. Sang kakak yang sedari tadi tak berhenti mondar-mandir di beranda rumah, tidak berhenti menelpon nomor yang sama, berharap suara sang adik dapat dia dengar dalam waktu sesegera mungkin, namun harapannya sia-sia, yang dia dengar hanya suara operator saja.
Waktu terus berjalan, pukul 21.00 keresahan semua anggota keluarga memuncak. Nazopa belum juga pulang. Mereka telah menghubungi rekan-rekan Nazopa, tetapi satupun tak ada yang mengetahuinya. Bahkan, sang kakak telah mencarinya ke lingkungan kampus yang sudah mulai sepi dan gelap. Kali ini bukan hanya anggota keluarga yang mulai berfikiran negatif, tetapi rekan-rekan Nazopa juga.
Berita Nazopa hilang dengan cepat menyebar dalam waktu kurang dari 24 jam, via facebook, twitter dan account-account lainnya. Nazopa, dimana kamu...
***
3 hari berlalu..
Rasa khawatir orang-orang terdekat Nazopa tidak sedikitpun berkurang. Perempuan itu belum pulang juga. Kini dicampuri dengan rasa heran ketika teman-teman kuliah Nazopa mencoba melacak nomor handphonenya dan diketahui berada di daerah Bandar Lampung. Apa yang dilakukannya disana? pikir semua orang. Apakah ada orang yang menculik dan berniat jahat kepadanya? lantaran banyak sekali berita yang beredar mengenai penculikan mahasiswa yang kemudian dilakukan pencucian otak oleh suatu oknum yang mengakui dirinya NII pada saat itu. Namun mereka tidak menyerah, usaha untuk segera menemukan Nazopa terus dijalankan. Dimulai dengan melaporkan kehilangan kepada pihak kepolisian, penyebaran foto, serta pemberitaan lewat media komunikasi pun telah begitu luas. Nazopa pergi tanpa rencana, tanpa persiapan, tiada perlengkapan apapun yang dibawanya selain apa yang dipakainya saja,
Sampai akhirnya, tengah malam itu, handphone sang kakak berbunyi. Ada pesan singkat yang masuk dari nomor adik tercintanya.
"Aku baik-baik saja jangan khawatir, jangan mencariku, lakukan apapun seperti biasa saat aku ada dirumah, aku tidak ikut NII"
Perasaanya campur aduk ketika membaca pesan singkat itu, sedikit lega namun bertambah khawatir ketika ditekankannya pada kata-kata terakhir adiknya dalam pesan itu "aku tidak ikut NII". Karna perlu diketahui bahwa tidak ada seorangpun yang bertanya secara langsung padanya apakah dia ikut atau tidak mengikuti perkumpulan itu. Ya, itulah yang dikhawatirkan, khawatir Nazopa dilarikan seseorang untuk kemudian dimanfaatkan dalam hal yang sama sekali tidak baik seperti yang telah banyak beredar saat ini. Orang-orang di Dunia ini semakin tidak rasional. Kejahatan bukan lagi menjadi sesuatu yang memalukan bagi yang melakukannya.
Sang kakak dengan sigap menekan tombol-tombol di handphonenya untuk menghubungi sang adik, namun yang didapat hanya kekecewaan. Nomor yang dia tuju kembali dalam keadaan tidak aktif.
***
6 hari berlalu..
wall post dari akun facebook perempuan itu penuh, semakin banyak orang bertanya-tanya tentang hilangnya dia secara misterius.
"sahabat itu selalu ada, walau tak selalu ia menghapus air mata dan tak selalu di samping. jop aku baco dindingmu caknyo lagi banyak masalah. aku doakan semoga segera selesai masalahnyo. seberat apapun masalah itu. tetap Ada Allah yang meringankan. ingatlah Tuhan kita tak pernah membebani kita melebihi batas kesanggupan kita. jop, keluarga menanti kepulanganmu...
sahabat yang tak selalu purnama...
sahabat yg tak selalu ada di kala kau sedih
sahabat yg tak disampingmu...
(pipit)"
Handphone sang kakak kembali berdering, Nazopa yang akrab dipanggil Najop itu mengirimkannya pesan singkat lagi.
"Aku di cengkareng, keluarga disini baik, kalian tenang saja, aku nyaman disini dan aku belum ingin pulang" , kakaknya segera membalas pesan singkat itu. "Sedang apa kmu disana sayang? kembalilah, ibu dan semua orang disini sudah sangat khawatir, pulanglah Najop.."
"Jangan khawatir, aku tidak apa-apa. hehehe"
"pulanglah, kakak mohon, berita tentangmu disini sudah sangat meluas, kamu sudah masuk koran dan berbagai pemberitaan lainnya, pulanglah.."
"Kenapa seperti itu? aku tidak diculik. Keluarga disini baik. Sangat baik"
"Apapun yang terjadi padamu disana, kakak mohon pulanglah dulu, kami merindukanmu"
"Baiklah, aku pulang, tolong kirimkan uang agar aku dapat segera pulang, aku akan naik pesawat dengan penerbangan sore ini"
Nazopa, perempuan berkulit putih itu pulang sore ini, kabar tentangnya sudah sangat meluas. para Wartawan pun sudah berkumpul memenuhi setiap sudut bandara Internasional Sultan Mahmud Badarudin II. Keluarga beserta beberapa dosen terdekatnyapun telah tiba di Bandara. Semuanya menanti dengan cemas. Rasa penasaran itu mengaduh di semua hati yang berharap Nazopa kembali.
Dia kembali, dan dia baik-baik saja...
Dia duduk diantara teman-teman dan keluarganya, berusaha terlihat kuat namun air muka nya tak menunjukan apa yang dia diharapkan.
"Aku, aku gak diculik.." katanya terbata, sesak di dadanya tampak belum juga hilang. Dia berusaha untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
***
Nazopa berjalan menjauhi perpustakaan, terus melangkah tanpa arah dengan berbagai permasalahan yang berkecamuk di pikirannya. Dengan kelelahan yang tak biasa. Dengan hati yang resah tak menentu. Sampai pada ujung langkahnya, dia berdiri tegak di tengah-tengah kerumunan orang dengan berbagai aktivitas mereka di terminal sore itu.
Dia hanya sedang tak ingin memikirkan apapun. Masalahnya, skripsinya, terlebih dia harus menampung permasalahan-permasalahan orang lain yang bercerita padanya. Tetapi dia tidak dapat berbagi, mulutnya terkunci, dia bukanlah seorang dengan tipe pembicara. Dia hanyalah salah satu pendiam yang memendam apapun seorang diri.
handphone-nya berdering, ada pesan singkat dari teman kampusnya. "Jop, besok kita ngadep Pembimbing jangan lupa bawa berkasmu"
Ini bukan hal yang dia inginkan, masalahnya bertambah satu lagi. Kali ini dia benar-benar ingin pergi. Sampai beberapa menit kemudian sebuah travel tujuan pagaralam-jakarta berhenti tepat di depannya.
Dimatikannya handphone dan dia dengan segera menaiki travel tersebut tanpa menoleh dan tanpa berfikir apa yang dilakukannya itu. Yang dia tau hanya, dia butuh ketenangan dan dia harus pergi.
Dia duduk diantara suami istri yang sudah cukup tua. Mereka sangat baik dan perhatian, dia merasa sangat nyaman dengan perjalanan ini. Dia lupa akan permasalahannya, tetapi dia juga lupa terhadap orang-orang yang senantiasa mengkhawatirkannya.
Travel yang ditumpanginya berhenti di sebuah rumah makan besar pagi ini, Nazopa teringat akan handphone nya yang kemarin sengaja dia matikan. Dipandanginya handphone itu selama beberapa menit, kemudian di tekannya tombol merah agak lama. Begitu banyak pesan yang masuk, pikirannya kembali mengeruh. Sakit yang tak tertahankan, sehingga kemudian dia kembali menonaktifkan handphonenya.
Sore itu, dia sampai dipemberhentian terakhir travel yang dinaikinya. Dia bingung akan kemana dan apa yang akan dia lakukan di tempat yang baru pertama kali dia datangi ini.
Dia sibuk memperhatikan orang-orang disekitarnya yang sedang melakukan ativitas mereka masing-masing. Pandangannya berujung pada seorang ibu-ibu yang sedang menyemir sepatu pelanggannya di pinggir sebuah toko. Ibu itu kembali menatapnya.
"Sedang apa nak? dari mana?" tanya ibu itu.
"Saya sedang mencari pekerjaan" jawabnya. Ibu tua tersebut memperhatikannya secara seksama. Nazopa tak membawa apapun selain tas bahu di lengannya saat ini.
"Ini pasar nak, apa yang kau cari?" tanya ibu itu lagi. Nazopa tak menjawab. Ibu itu menghentikan pekerjaannya. Dia simpan peralatannya di kotak yang biasa dia bawa kemanapun dia bekerja. Kemudian, dia membawa Nazopa pulang kerumahnya.
Di rumah petak berukuran 4 x 4 itu Nazopa beristirahat. Berdinding bilik, beralaskan semen dingin dan terdapat satu meja kayu disudut ruangan, diatasnya berdiri gelas plastik berwarna hijau dan satu buah teko yang jelas terlihat sudah lama sekali. Di atap yang tak terlalu tinggi itu terdapat satu kipas angin yang telah usang namun tetap dipergunakan. Terdapat pula satu tempat tidur terbuat dari papan, tanpa alas.
Dia diperkenalkan dengan keluarga sederhana ini,
Seorang ibu, bapak dan 2 orang anak yang masih belia. Hatinya tersentuh melihat keluarga ini. Karena adanya dia, kepala keluarga itu terpaksa tidur di lantai berbahan semen dingin itu. Dengan adanya Nazopa, keluarga itu harus berbagi seteguk air di gelas yang sama. Bunyi kipas angin itu, debunya yang berjatuhan ketika dihidupkan, membayang-bayangi pikiran Nazopa saat itu. Dia sepenuhnya sadar, apa yang dilakukannya saat ini, pergi tanpa pamit adalah salah. Masalah bukanlah alasan, karena ini semua membuka matanya, bahwa masalah yang dihadapinya adalah tidak seberapa. Banyak orang-orang lain yang harus menanggung permasalahan-permasalahan pelik yang tak kunjung selesai, bahkan yang telah mereka alami sejak lama. Masalahnya tak seberapa dibandingkan permasalahan kehidupan orang lain yang berada disekelilingnya saat ini. Ya, tidak seberapa.
Pagi-pagi sekali Nazopa bangun, ditemani Ani, seorang anak perempuan berumur 7 tahun yang merupakan anak dari si pemilik rumah. Dengan polosnya dia berkata "Kak Najop, gak usah pulang ya.. temenin Ani aja disini, nanti kita ngutang kipas angin sama Pak Ramli supaya kakak nggak kepanasan." Hati Nazopa remuk mendengar kata-kata itu, sakit sekali. Dia terdiam dan pipinya basah, airmatanya jatuh tak tertahan lagi.
Keluarga sederhana ini, tetap tersenyum disaat dunia tak tersenyum pada mereka.
Keluarga sederhana ini tetap bertahan disaat kabut-kabut kehidupan tak bersahabat dengan mereka.
Dan keluarga sederhana ini tetap ingin berbagi kebahagiaan, tetap ingin mengurangi beban orang lain disaat hidup mereka masih saja sulit.
Disanalah Nazopa tersadar.
Memiliki berbagai masalah bukan berarti melupakan untuk berbagi. Semua persoalan di dunia ini miliki penyelesaian. Ada titik dimana pembelajaran melekat untuk melakukan hal yang lebih baik lagi dikemudian hari. Memiliki permasalahan yang pelik, bukan berarti tidak dapat tetap membantu oranglain. Karena apa yang kita pandang sulit, adalah sesuatu yang tidak begitu sulit bagi orang lain yang merasakan kesulitan yang lebih sulit lagi. Ada langit di atas langit. Mensyukuri hidup adalah yang seharusnya dilakukan. Menghadapi permasalahan adalah keharusan. Tidak ada hal yang tak dapat diselesaikan.
"Sedang apa nak? dari mana?" tanya ibu itu.
"Saya sedang mencari pekerjaan" jawabnya. Ibu tua tersebut memperhatikannya secara seksama. Nazopa tak membawa apapun selain tas bahu di lengannya saat ini.
"Ini pasar nak, apa yang kau cari?" tanya ibu itu lagi. Nazopa tak menjawab. Ibu itu menghentikan pekerjaannya. Dia simpan peralatannya di kotak yang biasa dia bawa kemanapun dia bekerja. Kemudian, dia membawa Nazopa pulang kerumahnya.
Di rumah petak berukuran 4 x 4 itu Nazopa beristirahat. Berdinding bilik, beralaskan semen dingin dan terdapat satu meja kayu disudut ruangan, diatasnya berdiri gelas plastik berwarna hijau dan satu buah teko yang jelas terlihat sudah lama sekali. Di atap yang tak terlalu tinggi itu terdapat satu kipas angin yang telah usang namun tetap dipergunakan. Terdapat pula satu tempat tidur terbuat dari papan, tanpa alas.
Dia diperkenalkan dengan keluarga sederhana ini,
Seorang ibu, bapak dan 2 orang anak yang masih belia. Hatinya tersentuh melihat keluarga ini. Karena adanya dia, kepala keluarga itu terpaksa tidur di lantai berbahan semen dingin itu. Dengan adanya Nazopa, keluarga itu harus berbagi seteguk air di gelas yang sama. Bunyi kipas angin itu, debunya yang berjatuhan ketika dihidupkan, membayang-bayangi pikiran Nazopa saat itu. Dia sepenuhnya sadar, apa yang dilakukannya saat ini, pergi tanpa pamit adalah salah. Masalah bukanlah alasan, karena ini semua membuka matanya, bahwa masalah yang dihadapinya adalah tidak seberapa. Banyak orang-orang lain yang harus menanggung permasalahan-permasalahan pelik yang tak kunjung selesai, bahkan yang telah mereka alami sejak lama. Masalahnya tak seberapa dibandingkan permasalahan kehidupan orang lain yang berada disekelilingnya saat ini. Ya, tidak seberapa.
Pagi-pagi sekali Nazopa bangun, ditemani Ani, seorang anak perempuan berumur 7 tahun yang merupakan anak dari si pemilik rumah. Dengan polosnya dia berkata "Kak Najop, gak usah pulang ya.. temenin Ani aja disini, nanti kita ngutang kipas angin sama Pak Ramli supaya kakak nggak kepanasan." Hati Nazopa remuk mendengar kata-kata itu, sakit sekali. Dia terdiam dan pipinya basah, airmatanya jatuh tak tertahan lagi.
Keluarga sederhana ini, tetap tersenyum disaat dunia tak tersenyum pada mereka.
Keluarga sederhana ini tetap bertahan disaat kabut-kabut kehidupan tak bersahabat dengan mereka.
Dan keluarga sederhana ini tetap ingin berbagi kebahagiaan, tetap ingin mengurangi beban orang lain disaat hidup mereka masih saja sulit.
Disanalah Nazopa tersadar.
Memiliki berbagai masalah bukan berarti melupakan untuk berbagi. Semua persoalan di dunia ini miliki penyelesaian. Ada titik dimana pembelajaran melekat untuk melakukan hal yang lebih baik lagi dikemudian hari. Memiliki permasalahan yang pelik, bukan berarti tidak dapat tetap membantu oranglain. Karena apa yang kita pandang sulit, adalah sesuatu yang tidak begitu sulit bagi orang lain yang merasakan kesulitan yang lebih sulit lagi. Ada langit di atas langit. Mensyukuri hidup adalah yang seharusnya dilakukan. Menghadapi permasalahan adalah keharusan. Tidak ada hal yang tak dapat diselesaikan.